PENGERTIAN
IMAN
Secara
etimologis, Iman (bahasa Arab : الإيمان) berarti percaya. Perkataan iman (إيمان) diambil dari kata kerja aamana (أمن) – yu’minu (يؤمن) yang berarti percaya atau membenarkan.
Percaya berkaitan erat dan tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan (ma'rifat).
Dalam arti kepercayaan terhadap sesuatu itu tumbuh dengan dilandasi dan
didasari pengetahuan dan pengenalan terhadapnya. Jika seseorang mempercayai
sesuatu maka dia mengetahui dan mengenalnya. Dalam Khasyiyah Jami' al-Shahih
lil imam al-Bukhari disebutkan bahwa kadar dan tingkat keimanan seseorang
kepada Allah SWT itu tergantung pada sejauh mana kadar pengetahuan dan
pengenalan (ma’rifatullah) orang tersebut kepada Allah SWT.[1] Jadi
seseorang yang beriman kepada Allah SWT, maka tentunya dia mengetahui dan
mengenal Allah SWT. Mengenal dan mengetahui Allah SWT berbeda dengan mengenal makhluk-Nya.
Mengenal dan mengetahui Allah SWT adalah mengenal sifat-sifat-Nya, perintah-Nya
dan larangan-Nya yang dapat diperoleh dengan cara men-tadabburi dan mentafakuri
ayat-ayat-Nya, baik ayat kauniyat (tersirat) di alam raya maupun
ayat qur'aniyat (tersurat) dan tertulis dalam Qur'an. Meskipun demikian,
tidaklah merupakan kemestian orang yang mengetahui sesuatu otomatis mempercayai
dan mengimaninya. Adakalanya mengetahui sesuatu tetapi tidak mengimaninya
seperti iblis yang mengetahui (ma'rifat) terhadap Allah SWT, tetapi dia
tidak mengimani dan tidak mau tunduk pada perintah Allah SWT SWT.
Secara termonologis, iman
adalah: اَلْاِيْمَانُ
عَقْدٌ بِالْقَلْبِ وَ اِقْرَارٌ بِالِّسَانِ وَ عَمَلٌ بِالْاَرْكَانِ[2] (Keyakinan dengan hati, pengucapan dengan
lisan, dan pengamalan dengan anggota tubuh). Berikut penjelasan tentang ketiga
perkara di atas:
Keyakinan
dengan hati (عَقْدٌ
بِالْقَلْبِ)
Tidak ada iman tanpa
keyakinan hati. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama akan kafirnya kaum
munafikin yang mengaku beriman dengan lisan dan amalan mereka akan tetapi
mereka tidak meyakininya dengan hati.
Allah SWT SWT berfirman:
Allah SWT SWT berfirman:
Artinya: “Apabila orang-orang munafik datang
kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu
benar-benar Rasul Allah SWT". dan Allah SWT mengetahui bahwa Sesungguhnya
kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah SWT mengetahui bahwa Sesungguhnya
orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta”.(Q.S. Al Munaafiquun :
1)
Maka lihatlah bagaimana
mereka mengucapkan syahadatain langsung di hadapan Rasulullah SAW SAW, mereka
shalat di belakang Rasulullah SAW SAW, mereka menyerahkan langsung zakat mereka
ke tangan Rasulullah SAW SAW dan seterusnya, akan tetapi semua amalan besar
lagi hebat tersebut tidak berarti di hadapan Allah SWT SWT, bahkan Allah SWT
SWT menetapkan hukum-Nya kepada mereka, "Sesungguhnya orang-orang
munafik berada di lapisan terbawah dari neraka”. Hal itu karena Allah SWT
telah membongkar kebusukan hati mereka dengan firman-Nya, "Di antara
manusia yang mengatakan, "kami beriman kepada Allah SWT dan hari
akhir," padahal mereka bukanlah orang-orang yang beriman”.
Oleh karena itu, Allah SWT
SWT mempersyaratkan tidak adanya keragu-raguan dalam keimanan yang dibuktikan
dengan amalan saleh. Allah SWT menyatakan, "Tidak ada orang-orang yang
beriman kecuali orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya
kemudian mereka tidak ragu-ragu, lalu mereka berjihad dengan harta-harta dan
jiwa-jiwa mereka di jalan Allah SWT. Merekalah orang-orang yang jujur
keimanannya”.
Abu Manshur Al-Maturidi
(perintis sekte Al-Maturidiah) berpendapat bahwa Iman itu hanya dengan
pembenaran hati semata. Ini adalah pendapat yang batil karena melazimkan Abu
Thalib mati dalam keadaan beriman, karena dia membenarkan agama Rasulullah SAW,
walaupun dia tidak mau mengucapkan dan mengamalkannya. Dan batilnya kelaziman
dari sesuatu menunjukkan batilnya sesuatu tersebut.
Kemudian yang lebih parah
lagi adalah keyakinan Jahmiah (dimunculkan oleh Jahm bin Shafwan) dan juga
pendapat Abu Al-Husain Ash-Shalihi (salah seorang pembesar sekte Al-Qadariah).
Dimana mazhab mereka menyatakan bahwa keimanan itu cukup dengan hati atau
mengenal siapa Rabbnya. Kalau hati sudah mengetahui siapa Rabbnya maka dia
adalah mukmin sejati. Ini adalah mazhab yang paling batil, karena di antara
kelazimannya adalah: Iblis, Firaun dan para pengikutnya, ahli kitab dan juga
kaum musyirikin adalah mukmin sejati, karena tidak ada seorang pun di antara
mereka kecuali mengenal Allah SWT. Kalau kelazimannya seperti ini, maka jelas
sudah kebatilan mazhab ini.
Pengucapan dengan Lisan (اِقْرَارٌ بِالِّسَانِ)
Seseorang dikatakan tidak
beriman terhadap sesuatu sampai dia mengucapkan dengan lisannya apa yang dia
imani tersebut. Karenanya barangsiapa yang mengimani sesuatu dengan hatinya
akan tetapi dia tidak mengucapkannya maka dia tidaklah dihukumi beriman kepadanya,
selama dia sanggup untuk mengucapkannya dengan lisannya. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya” (Q.S. An Nisaa’ : 65).
Maka dalam ayat ini Allah SWT
meniadakan keimanan dari seseorang sampai mereka menerima dengan sepenuh hati
keputusan Rasulullah SAW lalu melaksanakan keputusan tersebut dengan lisan atau
perbuatan mereka. Rasulullah SAW juga bersabda, "Iman mempunyai 73
sampai 79 cabang, yang paling utama -dalam sebagian riwayat, yang paling
tinggi- adalah ucapan 'laa ilaha illAllah SWT', yang paling rendahnya adalah
menyingkirkan duri dari jalanan dan malu adalah salah satu dari cabang-cabang
keimanan”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Di antara dalil akan hal ini
adalah kesepakatan para ulama akan matinya Abu Thalib (paman Rasulullah SAW) dalam
keadaan kafir. Karena walaupun dia meyakini kebenaran Islam, akan tetapi dia
tidak mau mengucapkannya karena malu atau sombong.
Sebagian sekte sesat dalam
Islam seperti Al-Karramiah (pengikut Muhammad bin Karram) meyakini bahwa Iman
itu hanya pengucapan dengan lisan semata tanpa perlu meyakini dan
mengamalkannya. Keyakinan ini terbantahkan dengan semua dalil yang
mempersyaratkan harus adanya keyakinan hati dan pengamalan anggota tubuh dalam
keimanan. Keyakinan ini juga melazimkan bahwa orang munafik itu seorang mukmin
karena dia telah mengucapkan dan mengamalkan Islam (walaupun tanpa meyakinin
kebenarannya) dan tentu saja kelaziman ini batil. Kalau suatu kelaziman dari
sesuatu adalah kebatilan maka berarti sesuatu itu juga merupakan kebatilan.
Pengalaman dengan anggota
tubuh (عَمَلٌ
بِالْاَرْكَانِ)
Pengamalan dengan anggota
tubuh ini termasuk permasalahan yang butuh dipahami dengan baik, yaitu amalan
adalah bagian dari definisi iman, bukan penyempurnanya dan bukan pula sekedar
suatu kewajiban dari iman, bahkan dia adalah keimanan itu sendiri. Tidak ada
amalan tanpa iman dan tidak ada juga iman tanpa amalan.
Di antara dalilnya adalah
ayat dalam surah An Nisaa’ dan hadits Abu Hurairah riwayat Muslim, yang telah
kami sebutkan di atas.
Rasulullah SAW juga bersabda kepada rombongan Abdu Al-Qais, "Saya memerintahkan kalian untuk beriman kepada Allah SWT semata. Tahukah kalian apa itu beriman kepada Allah SWT semata? Yaitu persaksian bahwa tiada sembahan yang berhak disembah selain Allah SWT, penegakan shalat, penunaian zakat, berpuasa ramadhan dan kalian menyerahkan seperlima dari ghanimah kalian”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas). Dalam hadits ini, Beliau menafsirkan keimanan dengan amalan zhahir.
Rasulullah SAW juga bersabda kepada rombongan Abdu Al-Qais, "Saya memerintahkan kalian untuk beriman kepada Allah SWT semata. Tahukah kalian apa itu beriman kepada Allah SWT semata? Yaitu persaksian bahwa tiada sembahan yang berhak disembah selain Allah SWT, penegakan shalat, penunaian zakat, berpuasa ramadhan dan kalian menyerahkan seperlima dari ghanimah kalian”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas). Dalam hadits ini, Beliau menafsirkan keimanan dengan amalan zhahir.
Sebagian kelompok dari sekte
Murjiah berpendapat bahwa iman itu hanya pembenaran dengan hati dan pengakuan
dengan lisan. Adapun amalan, maka mereka menganggapnya hanya sebagai kewajiban
iman, yang kalau ditinggalkan maka pelakunya berdosa dan akan mendapatkan
siksaan, hanya saja hal tersebut tidak berpengaruh pada keimanannya. Misalnya
seseorang melakukan maksiat dengan meninggalkan yang wajib atau mengerjakan
yang haram, maka menurut mereka maksiat tersebut tidak berpengaruh dan tidak
akan mengurangi imannya, walaupun dia berdosa dan akan disiksa karenanya. Maka
mereka tidak menggolongkan amalan ke dalam syarat-syarat keimanan, akan tetapi
mereka hanya menggolongkannya ke dalam kewajiban-kewajiban iman.
Ini adalah mazhab yang batil
berdasarkan dalil-dalil di atas. Kalau amalan mempengaruhi keimanan maka itu
menunjukkan bahwa amalan merupakan salah satu dari syarat keimanan. Kelaziman
batil dari mazhab ini adalah lahirnya ucapan dari sebagian di antara mereka
(murjiah), "Keimanan peminum khamar sama seperti keimanan Abu Bakar”.
Kalau dikatakan kepadanya, "Peminum khamar dan pezina adalah pelaku
maksiat, keimanan mereka tidak mungkin bisa disetarakan dengan keimanan Abu
Bakar”. Maka dia akan serta merta menjawab, "Amalan maksiat itu
masalah lain, dia bukan bagian dari iman, karena iman itu hanya ucapan dan
keyakinan. Abu Bakar mengucapkan keimanan dan meyakininya, demikian halnya para
pelaku maksiat, kalau begitu keimanan mereka sama”. Kelaziman batil ini
mengharuskan batilnya mazhab ini.
KARAKTER IMAN
Iman
memiliki tiga karakter atau sifat yaitu: Pertama, iman itu bersifat abstrak
dengan pengertian manusia tidak dapat mengetahui dan mengukur kadar keimanan
orang lain. Iman bersifat abstrak karena iman ada dalam hati dan isi hati tidak
ada yang tahu kecuali Allah SWT dan orang tersebut. Namun meskipun demikian ada
sebuah hadits yang memberi petunjuk kepada kita bahwa meskipun iman itu
bersifat abstrak, tetapi iman dapat diidentifikasi dari amaliah dan ketaatan
seseorang dalam menjalankan agamanya. Nabi bersabda: “Apabila seseorang
membiasakan dirinya pergi ke mesjid (untuk menunaikan shalat), maka
persaksikanlah bahwa orang tersebut beriman" (al-Hadits)[3]. Kedua,
iman bersifat fluktuatif artinya naik turun, bertambah dan berkurang,
bertambah karena melaksanakan keta'atan dan berkurang karena melakukan kemaksiatan[4].
Kondisi iman bersifat fluktuatif ini karena iman bertempat dalam hati
yang mana karakter dasar hati adalah berubah-ubah dan tidak tetap dalam
satu kondisi, hati kadang senang, sedih, marah, rindu, cinta, benci
sehingga dalam bahasa Arab hati dinamai qalbun yang artinya
bolak-balik dan tidak tetap dalam satu kondisi.[5]
Abu Musa al-‘Asy’ari menyebutkan:"sesungguhnya hati disebut qalbun
tiada lain karena hati selalu bolak-balik dan berubah[6].
Oleh karena itu iman mesti dijaga dan dipupuk. Iman itu ibarat tanaman
yang mesti dipupuk dan pelihara dengan baik. Karena apabila iman tidak
dipelihara dan dipupuk bisa saja iman itu mati ataupun kalau tidak mati,
iman itu tidak akan tumbuh dengan baik dan tidak akan berbuah amal kebajikan
seperti tanaman yang tidak terurus dan ditelantarkan yang mungkin mati
atau mungkin hidup tetapi tidak berbuah dan tidak menghasilkan. Diantara hal-hal
yang harus dilakukan untuk memelihara dan memupuk keimanan adalah mentadaburi
ayat-ayat Alqur'an, men-tafakkuri ciptaan-ciptaan Allah SWT,
berdzikir, berdo'a kepada Allah SWT agar diberi anugrah iman yang kuat[7] dan
senantiasa mengamalkan ajaran-ajaran agama dengan konsisten. Dalam
sebuah Hadits Nabi bersabda:"Perbaharuilah imanmu".
Lalu para shahabat bertanya kepada Rasul:"Bagaimana kami
memperbaharui iman kami. Beliau menjawab:"Perbanyaklah menyebut La
Ilaha IllAllah SWT". Ketiga, iman itu bertingkat-tingkat.
Artinya tingkat dan kadar keimanan dalam hati orang beriman itu berbeda dan
tidak sama, ada yang kuat, ada yang sedang dan ada yang lemah imannya.
Kadar dan kualitas keimanan Abu Bakar dan shahabat-shahabat Nabi
tentunya berbeda dengan keimanan orang-orang sesudahnya. Alqur'an pun
dalam meredaksikan orang-orang yang beriman adakalanya menggunakan kata Alladzina
Amanu dan terkadang menggunakan kata al-Mu'minun. Ada perbedaan
makna antara kedua kata tersebut. Kata Alladziina Aamanuu mengandung
arti seluruh orang yang beriman baik yang kuat imannya, yang sedang
imannya maupun yang lemah keimanannya. Sedangkan kata al-Mu'minun mengandung
arti orang mu'min yang memiliki kualitas keimanan yang sempurna.
TINGKATAN IMAN
Yakni imannya
orang yang tidak beralasan, tidak mempunyai dalil/argumentasi, imannya hanya
mengikuti orang lain namun hatinya yakin dan Jazim iman kepada adanya Allah SWT
SWT.
Dalam
menghukumi orang yang iman Taqlid (Mukmin Muqollid) para ulama berpendapat :
Al-‘Asy’ary, Abi Bakrin Bakilani, Imam Malik dan Imam Haromain, berpendapat bahwa Iman Taqlid hukumnya adalah
Sah, hanya orangnya berdosa mengikuti orang lain tanpa dalil.
Ibnu ‘Aroby dan Imam Sanusi, Iman Taqlid tidak Sah, tetapi didalam kitab Kubro, Imam
Sanusi mencabut lagi pendapat tersebut.
Imam Dasuqi
berpendapat bahwa taqlid sah, hanya
berdosa bagi orang yang mampu berpikir. Pendapat ini berdasarkan firman Allah
SWT SWT. Dalam Q.S. Al-Baqarah : 286 yang berbunyi:
Artinya : “Allah SWT tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum
Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau
bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami
apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum
yang kafir.”
Ilmul
yaqin adalah tingkatan iman dimana orang yang berada pada tingkatan ini
menyakini segala sesuatu berdasarkan ilmu. Misalnya, di Mekkah ada Kakbah. Kita
percaya, karena menurut teorinya begitu, ilmunya begitu. Apa pun yang terjadi
pada Kakbah kita percaya, karena belum tahu yang sebenarnya bagaimana.
Ainul Yaqin
Keyakinan
yang dialami oleh orang yang telah melewati tahap pertama, yaitu ilmu al yaqin,
sehingga setiap kali dia melihat sesuatu kejadian, tanpa melalui proses sebab
akibat lagi dia langsung meyakini akan wujud Allah SWT.[10]
Ainul
yaqin adalah orang yakin karena telah melihat dengan mata kepala sendiri. Orang
yang telah pergi ke Mekkah, bisa melihat sendiri Kakbah. Keyakinannya akan
berbeda dengan orang yang yakin berdasarkan teori atau ilmu. Orang yang
mengatakan Kakbah itu ujungnya bulat, kalau hanya dengan ilmu bisa jadi kita
percaya. Tapi bagi orang yang telah melihatnya akan berkata sesuai dengan yang
telah dia lihat.[11]
Haqqul Yaqin
Adalah
keyakinan dimiliki oleh orang yang telah menyadari bahwa alam semesta ini pada
hakekatnya adalah bayangan dari Penciptanya, sehingga dia dapat merasakan wujud
yang sejati itu hanyalah Allah SWT, sedangkan lainnya hanyalah bukti dari wujud
yang sejati tersebut, yaitu Allah SWT swt.[12]
Haqqul
yaqin adalah orang yakin dan terbukti kebenarannya. Orang yang telah merasakan
lezatnya tawaf, berdoa di Multazam, merasakan di ijabahnya doa, dan mengatakan
Kakbah itu luar biasa sekali. Setelah pulang, doa kita diijabah dan susah
didustakan. Akan semakin berbeda keyakinannya
dengan orang yang hanya yakin berdasarkan ilmu saja tanpa merasakan bukti kebenarannya.[13]
dengan orang yang hanya yakin berdasarkan ilmu saja tanpa merasakan bukti kebenarannya.[13]
CABANG-CABANG IMAN[14]
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Iman itu
memiliki tujuh puluh cabang (riwayat lain tujuh puluh tujuh cabang) dan yang
paling utama ialah Laa ilaaha illa Allah SWT, dan yang terendah ialah mebuang
duri dari jalan. Dan malu juga merupakan salah satu cabang iman.” (Ashhabus
Sittah).
Banyak ahli hadits yang menulis risalah mengenai cabang iman di
antaranya ialah : Abu Abdillah Halimi rah a dalam Fawaidul Minhaj, Imam Baihaqi
rah a dalam Syu’bul Iman, Syaikh Abdul Jalil rah a dalam Syu’bul Iman, Ishaq
bin Qurthubi rah a dalam An Nashaih, dan Imam Abu Hatim rah a dalam Washful
Iman wa Syu’buhu.
Secara garis besar, cabang iman terbagi menjadi 3 (tiga) bagian,
yaitu yang berhubungan dengan: 1) Niat, aqidah, dan amalan hati, 2) Lidah, dan
3) Seluruh anggota tubuh.
Yang Berhubungan dengan Niat, Aqidah, dan Hati
1)
Beriman kepada Allah SWT, kepada Dzat-Nya, dan segala sifat-Nya,
meyakini bahwa Allah SWT adalah Maha Suci, Esa, dan tiada bandingan serta
perumpamaannya.
2)
Selain Allah SWT semuanya adalah ciptaan-Nya. Dialah yang Esa.
3)
Beriman kepada para malaikat.
4)
Beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah SWT kepada para
Rasul-Nya.
5)
Beriman kepada para Rasul.
6)
Beriman kepada takdir yang baik maupun buruk, bahwa semua itu
dating dari Allah SWT.
7)
Beriman kepada hari Kiamat, termasuk siksa dan pertanyaan di dalam
kubur, kehidupan setelah mati, hisab, penimbangan amal, dan menyeberangi
shirat.
8)
Meyakini akan adanya Syurga dan Insya Allah SWT semua mukmin akan
memasukinya.
9)
Meyakini neraka dan siksanya yang sangat pedih untuk selamanya.
10)
Mencintai Allah SWT SWT.
11)
Mencintai karena Allah SWT dan membenci karena Allah SWT termasuk
mencintai para sahabat, khususnya Muhajirin dan Anshar, juga keluarga Nabi
Muhammad saw dan keturunannya.
12)
Mencintai Rasulullah saw, termasuk siapa saja yang memuliakan
beliau, bershalawat atasnya, dan mengikuti sunnahnya.
13)
Ikhlash, tidak riya dalam beramal dan menjauhi nifaq.
14)
Bertaubat, menyesali dosa-dosanya dalam hati disertai janji tidak
akan mengulanginya lagi.
15)
Takut kepada Allah SWT.
16)
Selalu mengharap Rahmat Allah SWT.
17)
Tidak berputus asa dari Rahmat Allah SWT.
18)
Syukur.
19)
Menunaikan amanah.
20)
Sabar.
21)
Tawadhu dan menghormati yang lebih tua.
22)
Kasih saying, termasuk mencintai anak-anak kecil.
23)
Menerima dan ridha dengan apa yang telah ditakdirkan.
24)
Tawakkal.
25)
Meninggalkan sifat takabbur dan membanggakan diri, termasuk
menundukkan hawa nafsu.
26)
Tidak dengki dan iri hati.
27)
Rasa malu.
28)
Tidak menjadi pemarah.
29)
Tidak menipu, termasuk tidak berburuk sangka dan tidak merencanakan
keburukan atau maker kepada siapapun.
30)
Mengeluarkan segala cinta dunia dari hati, termasuk cinta harta dan
pangkat.
Yang Berhubungan dengan Lidah
1)
Membaca kalimat Thayyibah.
2)
Membaca Al Quran yang suci.
3)
Menuntut ilmu.
4)
Mengajarkan ilmu.
5)
Berdoa.
6)
Dzikrullah, termasuk istighfar.
7)
Menghindari bicara sia-sia.
Yang berhubungan dengan Seluruh Anggota Tubuh
1)
Bersuci. Termasuk kesucian badan, pakaian, dan tempat tinggal.
2)
Menjaga shalat. Termasuk shalat fardhu, sunnah, dan qadha’.
3)
Bersedekah. Termasuk zakat fitrah, zakat harta, member makan,
memuliakan tamu, serta membebaskan hamba sahaya.
4)
Berpuasa, wajib maupun sunnah.
5)
Haji, fardhu maupun sunnah.
6)
Beriktikaf, termasuk mencari lailatul qadar di dalamnya.
7)
Menjaga agama dan meninggalkan rumah untuk berhijrah sementara
waktu.
8)
Menyempurnakan nazar.
9)
Menyempurnakan sumpah.
10)
Menyempurnakan kifarah.
11)
Menutup aurat ketika shalat dan di luar shalat.
12)
Berkorban hewan, termasuk memperhatikan hewan korban yang akan
disembelih dan menjaganya dengan baik.
13)
Mengurus jenazah.
14)
Menunaikan utang.
15)
Meluruskan mu’amalah dan meninggalkan riba.
16)
Bersaksi benar dan jujur, tidak menutupi kebenaran.
17)
Menikah untuk menghindari perbuatan keji dan haram.
18)
Menunaikan hak keluarga dan sanak kerabat, serta menunaikan hak
hamba sahaya.
19)
Berbakti dan menunaikan hak orang tua.
20)
Mendidikan anak-anak dengan tarbiyah yang baik.
21)
Menjaga silaturrahmi.
22)
Taat kepada orang tua atau yang dituakan dalam agama.
23)
Menegakkan pemerintahan yang adil
24)
Mendukung jemaah yang bergerak di dalam kebenaran.
25)
Mentaati hakim (pemerintah) dengan syarat tidak melanggar syariat.
26)
Memperbaiki mu’amalah dengan sesama.
27)
Membantu orang lain dalam kebaikan.
28)
Amar makruh Nahi Mungkar.
29)
Menegakkan hukum Islam.
30)
Berjihad, termasuk menjaga perbatasan.
31)
Menunaikan amanah, termasuk mengeluarkan 1/5 harta rampasan perang.
32)
Memberi dan membayar utang.
33)
Memberikan hak tetangga dan memuliakannya.
34)
Mencari harta dengan cara yang halal.
35)
Menyumbangkan harta pada tempatnya, termasuk menghindari sifat
boros dan kikir.
36)
Memberi dan menjawab salam.
37)
Mendoakan orang yang bersin.
38)
Menghindari perbuatan yang merugikan dan menyusahkan orang lain.
39)
Menghindari permainan dan senda gurau.
40)
Menjauhkan benda-benda yang mengganggu di jalan.
[1]
Hasyiyah Jami’ al-Shahih, Maktabah Darul Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah,
tt, hal.12 yang bunyinya: و ایمان
الشخص علي
قدرمعرفتھ بالله artinya: ”dan
keimanan seseorang itu sesuai dengan kadar/ukuran ma’rifatnya kepada Allah”.
[3] Fathul Majid, Juz I, hal.333 dalam Program al-Maktabah
al-Syamilah.
[5] Aam Amirudin, Tafsir kontemporer, Khazanah Intelektual,
Bandung, 2006,Jilid 1, hal.143. dalam buku tersebut, Ustadz Aam Amirudin hanya
menyebutkan dua karakter/sifat iman yaitu abstrak dan fluktuatif.
Sedangkan sifat iman yang ketiga adalah pendapat Erlan Naofal, Hakikat Iman,
berdasarkan dalil ونھم s ذین یل s م ال s ونھم ث s ذین یل s م الل s ي ث s ركم قرن s خی (Sebaik-baik kamu adalah generasiku,
kemudian generasi sesudahku, lalu generasi sesudahnya).
[6] انما
سمي القلب قلبا لتقلبه al-Durr
al-Mantsur, Juz. I, hal. 155 dalam Program al-Maktabah al-Syamilah.
[7] Dalam kitab Bidayat al-Hidayat, Imam al-Ghazali memuat
do'a sebagai berikut: “Ya Allah sesungguhnya kami memohon/meminta kepada-Mu iman yang murni yang terus menerus
menyinari hati-hati kami dan keyakinan yang benar sehingga
kami meyakini bahwasanya tidak akan menimpa kepada kami kecuali apa yang telah Engkau tetapkan hal itu buat
kami). Al-Ghazali, Bidayat al-Hidayat, Pustaka al-'Alawiyyah, Semarang,
tt, hal. 23
[9] http://www.gagakmas.org/qolbu/?postid=120
[10] http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080812091644AABApaP
[11] http://www.gagakmas.org/qolbu/?postid=120
[12]
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080812091644AABApaP
[13] http://www.gagakmas.org/qolbu/?postid=120
0 komentar:
Posting Komentar