, Wahyu's Blog: Menyoal Drop Out Mahasiswa UIN Alauddin (Antara Motivasi dan Momok)

Pages

Senin, 24 November 2014

Menyoal Drop Out Mahasiswa UIN Alauddin (Antara Motivasi dan Momok)

Selain topik kenaikan harga BBM, akhir-akhir ini topik “Drop Out (DO)” sedang hangat diperbincangkan oleh mahasiswa UIN Alauddin Makassar. Betapa tidak, ratusan mahasiswa UIN Alauddin terancam dipecat alias di-DO. Seperti diberitakan www.washilah.com, setidaknya saat ini telah ada 333 mahasiswa yang masuk dalam daftar kandidat DO. Jumlah itu terdiri atas : 46 mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan; 50 mahasiswa Adab dan Humaniora; 237 mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum. Aturan tersebut diberlakukan kepada mahasiswa yang tidak melakukan herregistrasi atau membayar SPP, mahasiswa yang sudah melewati batas penyelesaian studi (14 semester) dan mahasiswa yang memiliki Indeks Prestasi Komulatif (IPK) di bawah 2,00 selama 2 semester.

Dari tiga penyebab mahasiswa dapat dicabut status kemahasiswaannya di atas, penyebab terakhir (IPK di bawah 2,00) dapat dikatakan kebijakan yang baru diterapkan di UIN Alauddin, meskipun telah lama disosialisaikan.  Sebagaimana lazimnya sebuah kebijakan, tentu dapat mengundang pro dan kontra. Penulis sendiri ingin berhusnudzon bahwa kebijakan tersebut merupakan upaya pimpinan UIN Alauddin dalam memacu peningkatkan kualitas mahasiswa menuju kampus yang unggul seperti termuat dalam visinya.  Melalui visi yang kemudian dijabarkan dengan salah satu misinya : “mengembangkan potensi dan kapasitas mahasiswa yang dapat dijadikan sebagai landasan yang kokoh untuk menjadi cerdas, dinamis, kreatif, mandiri dan inovatif”.

Ancaman DO bukan perkara yang bisa dianggap enteng. Sebab, hal ini menyangkut masa depan seorang mahasiswa. Bayangkan saja, mahasiswa yang telah dinyatakan di-DO kemudian mencari kampus lain yang mau menerimanya. Jika tidak ada kampus yang dapat menampungnya, maka pengangguran (akademik) baru pun akan tercipta. Permasalahannya tidak sampai di situ saja, bagi orang tua mahasiswa, ini tentunya menjadi persoalan besar apalagi di tengah ekonomi masyarakat yang semakin sulit dewasa ini.

Kendatipun  terkesan menghantui, tetapi di satu sisi kebijkan DO ini merupakan cambuk bagi mahasiswa untuk tidak bermalas-malasan dalam menjalani proses perkuliahan. Pemberlakuan sistem DO secara konsisten dapat menjadi shock therapy bagi mahasiswa sehingga nantinya UIN Alauddin hanya akan dihuni oleh mahasiswa yang benar-benar serius untuk menempuh studi akademiknya dengan baik.

(Sumber : Google)
Beberapa Catatan

Terhadap kebijakan DO tersebut, ada beberapa poin catatan yang perlu dipertimbangkan pimpinan UIN Alauddin, khususnya Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Pertama, kurangnya minat mahasiswa (kalau kita tidak ingin mengatakannya malas) untuk mengikuti perkuliahan serta mahasiswa yang ber-IPK di bawah 2,00 hendaknya menjadi bahan muhasabah untuk menata berbagai unsur yang terlibat dalam proses perkuliahan. Misalnya, fasilitas atau sarana yang tidak memadai (internet sering macet, LCD/proyektor yang perlu ditambah sesuai banyaknya kelas, colokan listrik yang tak kunjung diperbaiki dan fasilitas penunjang lainnya), kualitas dan profesionalitas dosen (dosen yang lebih banyak curhat ketimbang mengajarnya, dosen kurang rajin yang sekali masuk mengabsen mahasiswanya lebih dari satu kali) dan peningkatan fungsi dosen pembimbing akademik dalam memotivasi mahasiswa (yang selama ini kebanyakan hanya bertemu mahasiswanya saat penandatanganan KRS).

Kedua, mahasiswa yang terancam diberhentikan karena terlambat membayar SPP seyogianya perlu ditelusuri penyebabnya. Apakah keterlambatan mahasiswa yang bersangkutan hanya karena kelalaiannya atau benar-benar secara ekonomi tidak mampu membayar. Jika alasannya yang kedua, maka pihak kampus sebagai institusi pendidikan negara seharusnya mengupayakan kemudahan bagi mahasiswa, bukan malah menambah sulit dengan menggugurkan haknya sebagai mahasiswa. Apalagi hal ini telah dijamin dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN), antara lain disebutkan pada pasal 5 ayat (1) : “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Pasal 11 ayat (1) : “pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”, dan pasal 12 ayat (1) huruf d : “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”.

Ketiga, sejak penerimaan mahasiswa baru tahun 2013 lalu, hasil rapat pimpinan UIN Alauddin menetapkan larangan bagi mahasiswa baru selama 2 semester awal untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler lembaga kemahasiswaan, intra maupun ekstrakampus. Menurut penjelasan Wakil Dekan I Fakultas Dakwah dan Komunikasi, aturan itu sebagai upaya “menyelamatkan” mahasiswa baru dari ancaman DO. Larangan tersebut cukup mengesalkan bagi pengurus lembaga kemasiswaan yang salah satunya ditandai dengan ujuk rasa mahasiswa beberapa pekan lalu.

Menurut hemat penulis, sanksi DO bagi mahasiswa yang memiliki IPK di bawah 2,00 selama 2 semester tidak bijak dijadikan momok yang membatasi kemandirian dan kebebasan mahasiswa baru berekspresi dalam kegiatan lembaga kemahasiswaan. Sebaliknya, pimpinan universitas maupun fakultas seharusnya memotivasi agar mahasiswa tidak hanya unggul secara akademik, namun juga berprestasi dalam kegiatan kemahasiswaan. Kenyataan yang terjadi selama dua tahun terakhir, malah tanpa disadari pimpinan kampus inkonsisten dengan salah satu misi UIN Alauddin seperti yang dikutip pada alinea kedua.

Alangkah baiknya jika pimpinan kampus tetap meridhoi mahasiswa baru mengikuti kegiatan ekstrakurikuler kemahasiswaan dengan tetap turut mengawal dan mengawasi keamanannya. Misalnya saja, bina akrab diadakan di waktu yang tidak bertepatan dengan jadwal kuliah (tanggal merah atau hari libur), kemudian ketua jurusan atau dosen ditugaskan untuk mengawasi kegiatan mulia itu. Jika masih dikhawatirkan ada senior “macam-macam” terhadap juniornya, maka kalau perlu dibuat surat pernyataan bahwa mahasiswa lama bertanggungjawab penuh atas keamanan mahasiswa baru. Logikanya, mana mungkin senior berani “macam-macam” kalau mereka sendiri yang harus menjamin keamanan adik-adiknya? Dalam hal ini, sebetulnya tidak begitu sulit jika pihak penentu kebijakan kampus maupun fakultas tetap menaruh kepercaayaan terhadap pengurus lembaga kemahasiswaannya.

Kita semua meyakini bahwa tidak ada satupun civitas academica yang menginginkan DO. Tidak bagi pimpinan universitas, fakultas, jurusan, dosen, apalagi mahasiswa itu sendiri. Oleh karena itu, semoga catatan sederhana ini dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penerapan sistem DO di UIN Alauddin. Bagi kawan-kawan seperjuangan, mari jadikan sistem DO ini motivasi penggerak untuk lebih serius kuliah, mendapat nilai memuaskan dan lulus di waktu yang tepat. Terkhusus bagi yang masih berpredikat mahasiswa baru, jangan jadikan sanksi DO sebagai momok yang menakutkan sehingga cuek berorganisasi. Karena selain organisasi sangat berperan dalam memperoleh nilai yang bagus, tidak ada satupun juga organisasi yang menghendaki kader atau anggotanya di-DO. Pada kesimpulannya, kalau masing-masing pihak bisa mengevaluasi kelemahan diri guna perbaikan di masa mendatang, maka tak perlu ada aturan untuk men-DO mahasiswa. Mahasiswa pun tentu sadar, DO akan merugikan diri dan keluarga mereka sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar