Selain topik
kenaikan harga BBM, akhir-akhir ini topik “Drop Out (DO)” sedang hangat
diperbincangkan oleh mahasiswa UIN Alauddin Makassar. Betapa tidak, ratusan
mahasiswa UIN Alauddin terancam dipecat alias di-DO. Seperti diberitakan
www.washilah.com, setidaknya saat ini telah ada 333 mahasiswa yang masuk
dalam daftar kandidat DO. Jumlah itu terdiri atas : 46 mahasiswa Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan; 50 mahasiswa Adab dan Humaniora; 237 mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum. Aturan tersebut diberlakukan kepada mahasiswa yang tidak
melakukan herregistrasi atau membayar SPP, mahasiswa yang sudah melewati batas
penyelesaian studi (14 semester) dan mahasiswa yang memiliki Indeks Prestasi Komulatif
(IPK) di bawah 2,00 selama 2 semester.
Dari
tiga penyebab mahasiswa dapat dicabut status kemahasiswaannya di atas, penyebab
terakhir (IPK di bawah 2,00) dapat dikatakan kebijakan yang baru diterapkan di
UIN Alauddin, meskipun telah lama disosialisaikan. Sebagaimana lazimnya sebuah kebijakan, tentu
dapat mengundang pro dan kontra. Penulis sendiri ingin berhusnudzon
bahwa kebijakan tersebut merupakan upaya pimpinan UIN Alauddin dalam memacu
peningkatkan kualitas mahasiswa menuju kampus yang unggul seperti termuat dalam
visinya. Melalui visi yang kemudian
dijabarkan dengan salah satu misinya : “mengembangkan potensi dan kapasitas
mahasiswa yang dapat dijadikan sebagai landasan yang kokoh untuk menjadi
cerdas, dinamis, kreatif, mandiri dan inovatif”.
Ancaman
DO bukan perkara yang bisa dianggap enteng. Sebab, hal ini menyangkut masa
depan seorang mahasiswa. Bayangkan saja, mahasiswa yang telah dinyatakan di-DO
kemudian mencari kampus lain yang mau menerimanya. Jika tidak ada kampus yang
dapat menampungnya, maka pengangguran (akademik) baru pun akan tercipta.
Permasalahannya tidak sampai di situ saja, bagi orang tua mahasiswa, ini
tentunya menjadi persoalan besar apalagi di tengah ekonomi masyarakat yang
semakin sulit dewasa ini.
Kendatipun
terkesan menghantui, tetapi di satu sisi
kebijkan DO ini merupakan cambuk bagi mahasiswa untuk tidak bermalas-malasan
dalam menjalani proses perkuliahan. Pemberlakuan sistem DO secara konsisten
dapat menjadi shock therapy bagi mahasiswa sehingga nantinya UIN
Alauddin hanya akan dihuni oleh mahasiswa yang benar-benar serius untuk
menempuh studi akademiknya dengan baik.
![]() |
(Sumber : Google) |
Beberapa
Catatan
Terhadap
kebijakan DO tersebut, ada beberapa poin catatan yang perlu dipertimbangkan
pimpinan UIN Alauddin, khususnya Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Pertama,
kurangnya minat mahasiswa (kalau kita tidak ingin mengatakannya malas) untuk
mengikuti perkuliahan serta mahasiswa yang ber-IPK di bawah 2,00 hendaknya
menjadi bahan muhasabah untuk menata berbagai unsur yang terlibat dalam proses
perkuliahan. Misalnya, fasilitas atau sarana yang tidak memadai (internet
sering macet, LCD/proyektor yang perlu ditambah sesuai banyaknya kelas, colokan
listrik yang tak kunjung diperbaiki dan fasilitas penunjang lainnya), kualitas
dan profesionalitas dosen (dosen yang lebih banyak curhat ketimbang
mengajarnya, dosen kurang rajin yang sekali masuk mengabsen mahasiswanya lebih
dari satu kali) dan peningkatan fungsi dosen pembimbing akademik dalam
memotivasi mahasiswa (yang selama ini kebanyakan hanya bertemu mahasiswanya
saat penandatanganan KRS).
Kedua, mahasiswa yang terancam diberhentikan karena terlambat
membayar SPP seyogianya perlu ditelusuri penyebabnya. Apakah keterlambatan
mahasiswa yang bersangkutan hanya karena kelalaiannya atau benar-benar secara
ekonomi tidak mampu membayar. Jika alasannya yang kedua, maka pihak kampus
sebagai institusi pendidikan negara seharusnya mengupayakan kemudahan bagi
mahasiswa, bukan malah menambah sulit dengan menggugurkan haknya sebagai
mahasiswa. Apalagi hal ini telah dijamin dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UU SPN), antara lain disebutkan pada pasal 5 ayat (1) : “setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Pasal
11 ayat (1) : “pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap
warga negara tanpa diskriminasi”, dan pasal 12 ayat (1) huruf d : “setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan biaya pendidikan
bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”.
Ketiga, sejak penerimaan mahasiswa baru tahun 2013
lalu, hasil rapat pimpinan UIN Alauddin menetapkan larangan bagi mahasiswa baru
selama 2 semester awal untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler lembaga
kemahasiswaan, intra maupun ekstrakampus. Menurut penjelasan Wakil Dekan I
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, aturan itu sebagai upaya “menyelamatkan”
mahasiswa baru dari ancaman DO. Larangan tersebut cukup mengesalkan bagi pengurus
lembaga kemasiswaan yang salah satunya ditandai dengan ujuk rasa mahasiswa
beberapa pekan lalu.
Menurut
hemat penulis, sanksi DO bagi mahasiswa yang memiliki IPK di bawah 2,00 selama
2 semester tidak bijak dijadikan momok yang membatasi kemandirian dan kebebasan
mahasiswa baru berekspresi dalam kegiatan lembaga kemahasiswaan. Sebaliknya,
pimpinan universitas maupun fakultas seharusnya memotivasi agar mahasiswa tidak
hanya unggul secara akademik, namun juga berprestasi dalam kegiatan
kemahasiswaan. Kenyataan yang terjadi selama dua tahun terakhir, malah tanpa
disadari pimpinan kampus inkonsisten dengan salah satu misi UIN Alauddin
seperti yang dikutip pada alinea kedua.
Alangkah baiknya jika pimpinan kampus tetap meridhoi mahasiswa baru mengikuti kegiatan ekstrakurikuler kemahasiswaan dengan tetap turut mengawal dan mengawasi keamanannya. Misalnya saja, bina akrab diadakan di waktu yang tidak bertepatan dengan jadwal kuliah (tanggal merah atau hari libur), kemudian ketua jurusan atau dosen ditugaskan untuk mengawasi kegiatan mulia itu. Jika masih dikhawatirkan ada senior “macam-macam” terhadap juniornya, maka kalau perlu dibuat surat pernyataan bahwa mahasiswa lama bertanggungjawab penuh atas keamanan mahasiswa baru. Logikanya, mana mungkin senior berani “macam-macam” kalau mereka sendiri yang harus menjamin keamanan adik-adiknya? Dalam hal ini, sebetulnya tidak begitu sulit jika pihak penentu kebijakan kampus maupun fakultas tetap menaruh kepercaayaan terhadap pengurus lembaga kemahasiswaannya.
Kita
semua meyakini bahwa tidak ada satupun civitas academica yang
menginginkan DO. Tidak bagi pimpinan universitas, fakultas, jurusan, dosen,
apalagi mahasiswa itu sendiri. Oleh karena itu, semoga catatan sederhana ini
dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penerapan sistem DO di UIN
Alauddin. Bagi kawan-kawan seperjuangan, mari jadikan sistem DO ini motivasi
penggerak untuk lebih serius kuliah, mendapat nilai memuaskan dan lulus di
waktu yang tepat. Terkhusus bagi yang masih berpredikat mahasiswa baru, jangan
jadikan sanksi DO sebagai momok yang menakutkan sehingga cuek berorganisasi.
Karena selain organisasi sangat berperan dalam memperoleh nilai yang bagus,
tidak ada satupun juga organisasi yang menghendaki kader atau anggotanya di-DO.
Pada kesimpulannya, kalau masing-masing pihak bisa mengevaluasi kelemahan diri
guna perbaikan di masa mendatang, maka tak perlu ada aturan untuk men-DO
mahasiswa. Mahasiswa pun tentu sadar, DO akan merugikan diri dan keluarga
mereka sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar