A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia, dengan jumlah 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia. Kelompok agama lainnya menjadi kelompok minoritas, yaitu 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha.[1] Oleh karena itu, hubungan agama dan negara menjadi salah satu isu penting untuk dipertimbangkan, termasuk dalam kajian tentang konsep demokrasi.
Salah satu isu yang selalu hangat di Indonesia dan belahan bumi lainnya adalah isu eksperimen demokratisasi dengan ongkos sosial-politik yang tidak murah. Topik yang selalu hangat adalah pro-kontra tentang pelaksanaan syariat Islam dan negara Islam yang selalu direproduksi dan tak pernah menemukan titik akhir.[2]
Banyak upaya dari kalangan ilmuwan untuk mempertemukan konsep Islam dan demokrasi, meskipun keduanya berangkat dari sejarah yang berbeda.[3] Secara teologis, Agama Islam diyakini bersumber dari Tuhan, bukan buatan dan rekayasa manusia, sementara sosok demokrasi adalah produk dan aktualisasi penalaran manusia sebagai makhluk sosial. Dengan kata lain, setiap tindak-tanduk dalam Islam selalu mencari rujukan dari Al-Qur’an dan Al-Hadits (theo-centris), sedangkan demokrasi merupakan hasil ijtihad manusia yang tidak luput dari berbagai kekurangan dan lebih menitikberatkan pada persoalan manusia dan legitimasinya pun diperoleh dari sesama manusia (anthropocentris).
Dengan demikian, pada dasarnya, memperbincangkan hubungan Islam dan demokrasi sangat aksiomatis. Karena Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja antar anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak nilai-nilai positif.[4]
Berangkat dari permasalahan tersebut, kami akan mengantarkan pembaca kepada sejarah munculnya demokrasi dan perkembangannya di Indonesia kemudian mencari titik temu antara demokrasi dan agama Islam.
B. Rumusan Masalah1. Bagaimana sejarah munculnya konsep demokrasi?
2. Bagaimana perkembangan konsep demokrasi di Indonesia?
3. Bagaimana titik temu antara konsep demokrasi dan Islam di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Konsep Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang artinya rakyat dan cratein yang artinya kekuasaan di tangan rakyat. Jadi, demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat.
Konsep demokrasi lahir dari tradisi pemikiran Yunani tentang hubungan negara dan hukum. Demokrasi yang dipraktikkan pada masa itu berbentuk demokrasi langsung, yaitu hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas.[5]
Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa negara kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500 negara kota (poleis) yang kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar 150.000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.
Demokrasi ini kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi pada 510 SM hingga 27 SM. Sistem demokrasi yang dipakai adalah demokrasi perwakilan dimana terdapat beberapa perwakilan dari bangsawan di Senat dan perwakilan dari rakyat biasa di Majelis.[6]
Demokrasi Yunani kuno berakhir pada Abad Pertengahan. Pada masa ini masyarakat Yunani berubah menjadi masyarakat feodal yang ditandai oleh kehidupan keagamaan terpusat pada Paus dan pejabat agama dengan kehidupan politik yang diwarnai dengan perebutan kekuasaan di kalangan para bangsawan.[7]
Demokrasi tumbuh kembali di Eropa menjelang akhir Abad Pertengahan, ditandai oleh lahirnya Magna Charta (Piagam Besar) di Inggris. Magna Charta adalah suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John Inggris. Dalam Magna Charta ditegaskan bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus bawahannya. Terdapat dua hal yang sangat mendasar pada piagam ini: pertama, adanya pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja.[8]
B. Perkembangan Konsep Demokrasi di Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu.[9]
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Selama 25 thaun berdirinya, Republik Indonesia ternyata masalah pokok yang kita hadapi adalah bagaimana, dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi di samping membina sutau kehidupan sosial politik di mana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation bulding, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktator, apakah diktator ini bersifat perorangan, partai, ataupun militer.[10]
Beberapa literatur mencatat secara detail perkembangan demokrasi di Indonesia. Secara umum perkembanga demokrasi di Indonesia dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu:
1. Periode 1945-1959
Periode ini dikenal dengan masa Demokrasi Parlementer karena menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai.
2. Periode 1959-1965
Periode ini dikenal dengan masa Demokrasi Terpimpin yang mengandalkan karisma individu untuk menjalankan pemerintahan. Pada masa ini kekuasaan presiden sangat kuat dan bersifat mutlak.
3. Periode 1965-1998
Periode ini dikenal dengan masa Demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
4. Periode 1998-Sekarang
Periode ini dikenal dengan masa Reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada masa sebelumnya.
Demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia memperlihatkan beberapa kemajuan dibandingkan masa-masa sebelumnya. Pemilihan umum dengan diikuti banyak partai adalah sebuah kemajuan yang harus dicatat. Disamping itu pemilihan presiden secara langsung yang juga diikuti oleh pemilihan kepala daerah secara langsung adalah kemajuan lain dalam tahapan demokratisasi di Indonesia. Diluar hal tersebut, kebebasan mengeluarkan pendapat dan menyampaikan aspirasi di masyarakat juga semakin meningkat. Para kaum tertindas mampu menyuarakan keluhan mereka di depan publik sehingga masalah-masalah yang selama ini terpendam dapat diketahui oleh publik. Pemerintah pun sangat mudah dikritik bila terlihat melakukan penyimpangan dan bisa diajukan ke pengadilan bila terbukti melakukan kesalahan dalam mengambil suatu kebijakan publik.
Harapan dari adanya demokrasi yang mulai tumbuh adalah ia memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat dan juga bangsa. Misalnya saja, demokrasi bisa memaksimalkan pengumpulan zakat oleh negara dan distribusinya mampu mengurangi kemiskinan. Disamping itu demokrasi diharapkan bisa menghasilkan pemimpin yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat banyak seperti masalah kesehatan dan pendidikan. Tidak hanya itu, demokrasi diharapkan mampu menjadikan negara kuat. Demokrasi di negara yang tidak kuat akan mengalami masa transisi yang panjang. Dan ini sangat merugikan bangsa dan negara. Demokrasi di negara kuat (seperti Amerika) akan berdampak positif bagi rakyat. Sedangkan demokrasi di negara berkembang seperti Indonesia tanpa menghasilkan negara yang kuat justru tidak akan mampu mensejahterakan rakyatnya. Negara yang kuat tidak identik dengan otoritarianisme maupun militerisme.
Sebelumnya telah dibahas bahwa demokrasi terlahir di Yunani dan berkembang pesat di Eropa (utara), sementara Islam lahir di Arab dan berkembang pesat di wilayah selatan. Maka pertemuan Islam dan demokrasi merupakan pertemuan peradaban, ideologi dan latar belakang sejarah yang jauh berbeda. Agama Islam diyakini bersumber dari Tuhan, bukan buatan dan rekayasa manusia, sementara sosok demokrasi adalah produk dan aktualisasi penalaran manusia sebagai makhluk sosial.
Esposito dan Piscatori mengidentifikasi ada tiga pemikiran mengenai hubungan Islam dan demokrasi. Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi, karena konsep syura, ijtihad, dan ijma’ merupakan konsep yang sama dengan demokrasi. Kedua, menolak bahwa Islam berhubungan dengan demokrasi. Menurut pandangan ini kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara muslim dan nonmuslim dan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bertentangan dengan equalitynya demokrasi. Ketiga, sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi. Meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan tetapi perlu diakui, bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum Tuhan. Terma ini dikenal dengan theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-Maududi. [11]
Jika yang dimaksud dengan demokrasi itu terkait dengan adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu, misalnya asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berfikir dan berkeyakinan, keadilan sosial dan sebagainya, maka sebenarnya hak-hak tersebut semuanya ada dalam Islam. Baik dalam sistem demokrasi ataupun Islam, terdapat jaminan hak tersebut.[12]
Begitu pula jika demokrasi yang dimaksud sebagaimana menurut Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya[13] mendefinisikan demokrasi sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (from people, by people and for people), pengertian ini juga terdapat dalam Islam, dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif.
Dengan melihat sudut pandang seperti ini maka akan mudah, dari pintu mana akan melihat hubungan Islam dan demokrasi. Jika dilihat dari seluruh pintu, sebagaimana disebut diawal tulisan ini, Islam dan demokrasi memiliki latar belakang yang berbeda. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Khaldun,[14] Islam berupa ajaran Tuhan yang penuh dengan nilai-nilai profetik sementara demokrasi adalah hasil ijtihad manusia yang sarat dengan profanistik.
Identifikasi Esposito dan Piscatori tersebut khususnya pandangan Islam identik dengan nilai-nilai demokrasi bukanlah tanpa alasan. Setidaknya jika kita melihat konteks ke-Indonesiaan, bahwa: pertama, Islam tetap memelihara tradisi ijtihad (berfikir secara bebas dan benar) untuk mendapatkan dan menyelesaikan suatu persoalan. Ijtihad dimaksud sejalan dengan prinsip demokrasi yakni kebebasan berfikir untuk mendapatkan sesuatu yang terbaik bila terbelenggu oleh ketidakjelasan hukum. Kedua, persamaan (al-musawa), Islam tidak membedakan suku, ras, golongan, warna kulit, kaya-miskin, dan sebagainya dalam hukum dan pemerintahan. Hal ini didasarkan pada pernyataan-pernyataan Allah[15] dan Nabi[16] bahwa tidak ada kelas sosial dalam Islam dan semua makhluk diperlakukan sama oleh Allah kecuali kadar ibadahnya atau ketakwaannya. Meskipun, prinsip persamaan (equality) ini banyak ditentang oleh penulis Barat yang ternyata Islam dianggap acap tidak konsisten.[17] Misalnya dalam memperlakukan mukmin dan kafir serta persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang dalam praktiknya Islam tidak memperlakukan sama. Ketiga adalah syura. Hampir tidak ada perbedaan pandangan bahwa syura merupakan prinsip Islam dan demokrasi, Islam selalu mengedepankan musyawarah[18] untuk mencapai kemufakatan bersama yang dimulai sejak Nabi menjadi pemimpin umat di Madinah, dan begitupula dengan konsep demokrasi, salah satu prinsip demokrasi adalah adanya musyawarah. Keempat adalah bay’at (baiat), yaitu kesepakatan pemimpin untuk memberikan yang terbaik bagi rakyatnya, dan pernyataan rakyat secara langsung untuk loyal dan mengikuti peraturan yang dibuat oleh sang pemimpin. Bay’at ini merupakan cermin sikap terbuka, bahwa seorang pemimpin benar-benar mendapat legitimasi dari rakyat. Kelima adalah majelis (parlemen) yaitu suatu lembaga perwakilan masyarakat untuk menyuarakan aspirasi yang kita kenal sebagai DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).
Melihat fenomena di atas, hubungan Islam dan demokrasi harus dilihat secara parsial dengan titik tekan pada wilayah-wilayah tertentu. Sebab bila melihat persoalan Islam dan demokrasi secara akumulatif, maka akan berhadapan dengan katup yang saling berlawanan. Menurut Islam, kekuasaan tertinggi berada di tangan Tuhan, karena itu Islam tidak sejalan dengan demokrasi. Tidak juga di tangan tokoh-tokoh agamawan (sebagaimana kasus di Katolik) karena Islam tidak sama dengan paham “teokrasi”. Tidak juga di tangan undang-undang, karena Islam tidak sejalan dengan paham “nomokrasi”.[19] Sementara Islam merupakan agama yang kompleks yang di dalamnya terkait hubungan yang sangat erat antara Tuhan dan hamba-Nya. Islam dan demokrasi tidak selalu berjalan beriringan dan juga tidak selalu berlawanan. Yang diinginkan Islam adalah demokrasi yang disemangati oleh nilai-nilai syariah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan Makalah
Berdasarkan pembahasan di atas, kami dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Demokrasi terlahir di Yunani dan berkembang pesat di Eropa (utara), sementara Islam lahir di Arab dan berkembang pesat di wilayah selatan. Maka pertemuan Islam dan demokrasi merupakan pertemuan peradaban, ideologi dan latar belakang sejarah yang jauh berbeda.
2. Titik temu antara konsep demokrasi dan agama Islam di Indonesia dapat dilihat dalam lima prinsip yang terdapat dalam demokrasi maupun Islam, yakni:
1) Ijtihad
2) Persamaan (Al-Musawa)
3) Musyawarah (Syura)
4) Baiat (Bay’at)
5) Parlemen (Majlis).
B. Kesimpulan Hasil Diskusi
Berdasarkan hasil diskusi pada tanggal 21 November 2011, maka kami dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pada dasarnya budaya musyawarah mufakat di Indonesia masih tetap berjalan, meskipun belakangan ini nampaknya mulai luntur. Salah satu penyebabnya adalah pengambilan keputusan yang cenderung lebih sering menggunakan metode pemungutan suara atau voting ketimbang metode konsensus atau musyawarah.
2. Mayoritas masyarakat mengasumsikan politik sebagai suatu hal yang negatif atau “kotor”, sehingga mereka mencap “kotor” pula seorang alim ulama atau ustaz yang terjun ke dunia politik. Mereka beranggapan bahwa bagaimana mungkin seorang ustaz atau ulama tetap "bersih" di lingkungan yang "kotor".
3. Reformasi (al-Ishlah) adalah perubahan kepada yang lebih baik. Ajaran-ajaran yang dibawa oleh para Rasul disebut dengan “panggilan-panggilan reformasi” (Da'awat al-Ishlah) yaitu upaya-upaya yang bertujuan untuk mewujudkan perubahan dari suatu kehidupan yang tidak beradab menuju kehidupan yang berperadaban. Maka jelaslah bahwa Islam telah menggarisbawahi reformasi sebagai salah satu tiang atau prasyarat dalam membangun sebuah masyarakat ideal. Demikian pula dengan reformasi di Indonesia, era reformasi yang berawal pada tahun 1998 dilakukan untuk mengkritik sistem pemerintahan pada era sebelumnya yang dinilai menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi dan kemudian pada era reformasi ini diupayakan terwujudnya sistem demokrasi yang utuh.
4. Money politics atau politik uang adalah suatu tindakan pelanggaran yang sengaja dilakukan oleh seserorangan maupun kelompok dengan cara memberi/ menjanjikan uang atau materi lainya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih calon tertentu. Pelanggaran ini telah diatur dalam Undang-Undang Pemilu No. 10 tahun 2008 pasal 84.
5. Tidak semua aspirasi rakyat dijalankan oleh pemerintah, dan tidak semuanya diabaikan. Salah satu permasalahan dalam proses penyampaian aspirasi rakyat adalah mahasiswa yang berfungsi sebagai salah satu penyampai aspirasi rakyat seringkali melanggar hukum dalam menyampaikan aspirasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim.
Budiardjo, Miriam, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Busroh, Abu Daud., 2006. Ilmu Negara, Cet. IV, Bumi Aksara, Jakarta.
Esposito, John L., dan P. Piscatori, Jame., 1991. “Democratization and Islam” dalam Middle East Journal 45, nomor 3.
Fachruddin, Fuad., 2006. Agama dan Pendidikan Demokrasi, Cet. I, Pustaka Alvabet, Jakarta.
Hidayat, Komaruddin., 1994. “Tiga Model Hubungan Agama dan Demokrasi”, dalam Elza Peldi Taher dkk, Demokratisasi, Politik, Budaya dan Ekonomi, cetakan I, Yayasan Paramadina, Jakarta Selatan.
Kristiadi, J dkk. 2009. Who Wants To Be The Next President?, Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta.
Tabbarah, Afif, A., 1993. The Spirit of Islam, ter. Hasan Shouchir, Dar al-Ilm wa al-Malayin, Beirut.
Taher, Elsa Peldi, 1994. Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, cetakan I, Yayasan Paramadina, Jakarta Selatan.
Taranggono, Eko., 2002. “Islam dan Demokrasi,Upaya Mencari Titik Temu”, Jurnal Al-Afkar, Edisi VI, Tahun ke-5.
Ubaedillah, A. dkk., 2008. “Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), edisi ketiga, Cet. III, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Indonesian Children, Demokrasi dan Sejarahnya, http://korandemokrasiindonesia. wordpress.com/2009/11/27/demokrasi-dan-sejarahnya/, diakses 20 November 2011.
Wikipedia, Demokrasi, http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, diakses 20 November 2011.
[1] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia
[2] Fuad Fachruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h. ix-x.
[3] Eko Taranggono, “Islam dan Demokrasi,Upaya Mencari Titik Temu”, [Jurnal] Al-Afkar, Edisi VI, Tahun ke-5: Juli-Desember 2002, h. 1.
[4] Ibid., h. 4.
[5] A. Ubaedillah dkk, “Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), edisi ketiga, (Cet. III; Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 41.
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi.
[7] A. Ubaedillah dkk, op.cit., h. 41.
[8] Ibid.
[9] http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/2009/11/27/demokrasi-dan-sejarahnya/
[10] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ediisi revisi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Ilmu, 2008), h. 127.
[11] John L. Esposito dan Jame P. Piscatori, “Democratization and Islam” dalam Middle East Journal 45, No. 3 (1991), h. 427-440.
[12] Eko Taranggono, op.cit., h. 4.
[13] http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
[14] Eko Taranggono, op.cit., h. 5.
[15] Lihat Q.S. Al Hujuraat: 13
[16] Nabi bersabda, “tidak ada superioritas antara Arab dan bukan Arab, begitu pula antara yang berkulit merah dan hitam kecuali taqwanya” Dalam sebuah hadis dikatakan, bahwa pada suatu hari Abu Dhar al-Ghifari berselisih dengan orang budak Baduwy, kemudian Abu Dhar melapor kepada Nabi seraya mengatakan, “anak seorang Negro”. Mendengar ucapan tersebut membuat Nabi marah, dan mengatakan, “berkulit putih tidak lebih baik dari kulit hitam kecuali sifat dan tingkah lakunya (akhlaknya)”. Lihat Afif A. Tabarrah, The Spirit of Islam, ter. Hasan Shouchir (Beirut: Dar al-Ilm wa al-Malayin, 1993), h. 297.
[17] Eko Taranggono, op.cit., h. 6.
[18] Lihat Q.S. Asy Syuura: 38
[19] Eko Taranggono, op.cit., h. 8.
[2] Fuad Fachruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h. ix-x.
[3] Eko Taranggono, “Islam dan Demokrasi,Upaya Mencari Titik Temu”, [Jurnal] Al-Afkar, Edisi VI, Tahun ke-5: Juli-Desember 2002, h. 1.
[4] Ibid., h. 4.
[5] A. Ubaedillah dkk, “Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), edisi ketiga, (Cet. III; Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 41.
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi.
[7] A. Ubaedillah dkk, op.cit., h. 41.
[8] Ibid.
[9] http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/2009/11/27/demokrasi-dan-sejarahnya/
[10] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ediisi revisi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Ilmu, 2008), h. 127.
[11] John L. Esposito dan Jame P. Piscatori, “Democratization and Islam” dalam Middle East Journal 45, No. 3 (1991), h. 427-440.
[12] Eko Taranggono, op.cit., h. 4.
[13] http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
[14] Eko Taranggono, op.cit., h. 5.
[15] Lihat Q.S. Al Hujuraat: 13
[16] Nabi bersabda, “tidak ada superioritas antara Arab dan bukan Arab, begitu pula antara yang berkulit merah dan hitam kecuali taqwanya” Dalam sebuah hadis dikatakan, bahwa pada suatu hari Abu Dhar al-Ghifari berselisih dengan orang budak Baduwy, kemudian Abu Dhar melapor kepada Nabi seraya mengatakan, “anak seorang Negro”. Mendengar ucapan tersebut membuat Nabi marah, dan mengatakan, “berkulit putih tidak lebih baik dari kulit hitam kecuali sifat dan tingkah lakunya (akhlaknya)”. Lihat Afif A. Tabarrah, The Spirit of Islam, ter. Hasan Shouchir (Beirut: Dar al-Ilm wa al-Malayin, 1993), h. 297.
[17] Eko Taranggono, op.cit., h. 6.
[18] Lihat Q.S. Asy Syuura: 38
[19] Eko Taranggono, op.cit., h. 8.
0 komentar:
Posting Komentar